Selasa, 04 November 2008

Apa susahnya beristiqamah ?

“Tingkatan karamah yang paling tinggi adalah senantiasa istiqamah, sekiranya seorang sanggup berjalan diatas air, terbang atau bersilat kaki diawan, tidaklah menandakan bahwa amalannya itu diterima sampai ia konsisiten dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarangNya. karna istandarisasi karamah adalah istiqamah.” Ibnu Taymiah.

Istiqamah atau konsisiten adalah sebuah kata yang sangat sering kita dengar, kedengarannya ringan tapi berat, mudah tapi susah, sangat sedikit orang yang bisa melakukannya, tapi apabila kita bisa untuk melakukannya maka, seakan kita menemukan solusi dari sebuah masalah.

Di abad sekarang ini, dimana kita dituntut setiap saat, bahkan setiap detik nafas yang kita hembuskan untuk mempertaruhkan keimanan, menjaga aqidah, yang dari waktu kewaktu diombang-ambingkan oleh zaman, diperbudak oleh gemerlapnya dunia, yang sewaktu-waktu ketika kita tidak sanggup lagi membendung arus zaman yang begitu deras dengan gemerlapnya dunia yang menggiurkan, maka kita harus menaggalkan keimanan kita. Sangat ironis memang, keimanan sebagai landasan hidup setiap mukmin harus ditanggalkan hanya dengan hal-hal yang sepele, harus dilepaskan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat. Maka jawaban dari semuah itu, adalah Istiqamah.

Istiqamah bukanlah dilihat dari kuantitas banyaknya amalan tapi lebih dari pada itu ia lebih menitik beratkan kepada kualitas amalan, “adwamuha wain qallah” biar sedikit asalkan konsisten, kata Nabi dalam sebuah Sabdanya, dan dalam surah Al-mulk disebutkan “Alladzi khalaqal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu amala” dialah yang menciptakan hidup dan mati untuk menguji siapakah diantara manusia yang paling baik amalannya, bukan paling banyak amalannya.

Jika kita ingin mendefenisikan islam dengan satu kata, yang mewakili semua tindak tanduknya maka tidak ada kata yang pas kecuali kata Istiqamah, karna disinilah seseorang dapat meraih apa yang dia inginkan, berangkat dari titik nol yaitu beriman kepada Allah untuk berangkat meraih tujuan akhir mendapatkan keridhaan Allah, tanpa ada penyimpangan, maupun godaan sedikitpun.

Dalam menjelaskan ma’na istiqamah ulama-ulama islam memilili banyak interpretasi, tapi tidak keluar dari satu ma’na diantaranya :
1. Abu bakar ra. Ditanya tentang istiqamah, maka beliau menjawab ; “janganlah menyekutukan Allah”
2. Umar bin Khatab berkata; “konsisten dengan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah, dan janganlah tertipu dengan tipuan serigala”
3. Usman bin Affan berkata; “ikhlas beramal karna Allah semata”
4. Ali bin Abi Thalib memaknai istiqamah “menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt.
5. Dari Hasan Al Basri; “istiqamalah dalam perintah Allah, beramalah untuk ketaatan dan jauhilah larangannya”.
6. Imam Mujahid ra. Berkata ; “tetaplah dalam persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah sampai kamu menemui ajal”
Dari pengertian diatas dapat kita mengerti bahwa arti yang paling pas untuk memaknai istiqamah adalah senantiasa berpegang teguh dalam agama, dan konsisten terhadapnya, dalam setiap saat. (Attamassuk biddin kulluhu, wa tsabat alaihi).

Istiqamah adalah kata yang mengandung arti ganda (jamiah wa maniah) seperti kata alkahaer (kebaikan), albiir, Alibadah, masing-masing menghendaki pengertian yang luas, yang tidak cukup dengan perkataan saja tapi juga dengan perbuatan dan keyakinan.

Imam Al Qurtubi menuturkan : “walaupun kata ini kelihatannya saling tindih menindih tapi abstraksinya, tetaplah teguh dalam ketaatan kepada Allah, baik keyakinan, perkataan maupun perbuatan.

Dalam Al-quran sendiri terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang istiqamah dengan bermacam-macam parian;
- kadang penjelasaanya dalam bentuk perintah (amr) “fastaqim kama umirtu waman taba maak wala tatgau innahu bima ta’maluna bashir”. (Hud-112). “maka tetaplah engkau ya (Muhammad)(di jalan yang benar), sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan (juga) yang bertobat bersamamu, dan janganlah engakau melampaui batas, sungguh, dia maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Ibnu Katsir dalam mengomentari ayat ini dalam tafsirnya mengatakan; “Allah memerintahkan kepada Rasullullah dan hambanya untuk senantiasa konsen dan tetap teguh dalam berIstiqamah, karna hal tersebut merupakan kunci suatu kemenangan, penyebab turunnya pertolongan Allah.

Dan dalam kesempatan lain imam fakru Razi menjelaskan makna ayat ini “ketika Allah dengan gamblang menjelaskan masalah wa’du wal waid, kemudian Allah berfirman kepada Rasulullah “fastaqim kama umirtu” kalimat ini merupakan kalimat jami’, mencakup semua makna yang berhubungan dengan akidah, perbuatan, baik perbuatan Rasul sendiri, atau berkaitan dengan penyampaian wahyu dan penjelasan syariat. Kemudaian beliau melanjutkan perkataanya “tidak diragukan lagi bahwa konsisten dalam Istiqamah adalah sesuatu yang sangat susah untuk ditunaikan.

Karna sering kali kekuatan emosi serta syahwat yang sangat sering mendominasi dalam diri manusia sehingga sangat sulit untuk menemuka suatu kebenaran (shiratal mustaqim), apalagi untuk konsisten dalam kebenaran tersebut, makanya ketika ayat ini turun spontan Ibnu Abbas mengatakan : “tidaklah turun sebuah ayat dalam Alquran yang terasa sangat berat bagi Nabi kecuali satu ayat ini, makanya ketika ayat ini turun Rasulullah mengatakan “syaibatni hud wa akhwatuha”, hud dan teman-temannya menyebabkan saya beruban.

- Kadang juga ayat istiqamah datang dalam bentuk pujian terhadap pelakunya dengan memberikan ganjaran kebaikan seperti dalam firman Allah; “inna ladzina qalu rabbuna allahu tsumma staqamu fala khufun alaihim wala hum yahzanun”, (Al-ahqaf 17). “ Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “tuhan kami adalah Allah”, kemudian mereka tetap Istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati.”
Ini senanda dengan firman Allah dalam surah Al-jin ayat 16 “walaw istaqamu ala tahriqati laasqaenahum maan gandaqan” . “dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (agama islam) niscaya kami kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup”.

Imam Ibnu Jarir At-tabari mnegatakan dalam tafsirnya; “sekiranya orang-orang adil tersebut berjalan lurus dijalan yang benar dan konsisten, maka Kami akan melapangkan rezkinya dan memudahkannya didunia.

- Kadang juga kata Istiqamah ini turun dalam bentuk hidayah, sebgaimana dalam firman Allah “ ihdina shiratal mustaqim”. Imam Abu Ja’far bin Jarir dalam tafsir Ibnu Katsir mengatakan; Para ulama ulama ahli ta’wil sepakat bahwa yang dimaksud (shiratal mustaqim) yaitu jalan yang lurus yang tidak berliku-liku.

Allah Swt. Telah mengajarkan hambanya melalui Rasulullah untuk senantiasa memohon petunjuk supaya dituntun kejalan yang benar, karna terdapat begitu banyak jalan yang menyesatkan, dikhawatirkan ketika manusia telah terjerembab di jalan yang menyesatkan, dia tidak bisa menemukan jalan lagi untuk kembali kejalan yang benar, berbeda dengan shiratal mustaqim, karna sejak awal kita telah mengetahui kemana tujuan kita yang sebenarnya.

istiqamah terhadap perintah Allah merupakan ni’mat tersendiri bagi hambanya, tapi hal ini tidak datang serta-merta, tapi perlu sebuah mujahadah yang serius, dan pengorbanan serta kesabaran, untuk mendapatkan konsistenisasi istiqamah maka kita harus ;
1. Melakukan ketaatan, dengan menjalankan segala apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala apa yang dilaranNya, bersungguh-sungguh dan terus mujahadah.
2. Berilmu.
3. Ikhlas.
4. Sejalan dengan sunnah, tidak melenceng dari apa yang diajarkan oleh rasulullah Saw. Dan Salafu Shaleh .
5. Berdoa.
6. Bersahabat dengan orang-orang yang shaleh.

Setiap kerja keras pasti akan menghasilkan hasil yang memuaskan, begitulah istiqamah, bagi mereka yang sudah mampu untuk Istiqamah maka akan mendapatkan hasil yang memuaskan, diantaranya;
1. Kebahagian dunia dan Akhirat
2. Malaikat Rahmat turun kepadanya ketika ajal menjemput, dengan membawa berita gembira, “alla takhafu wala tahzanu” jaganlah kalian takut (dari mati) dan janganlah sedih berpisah dengan keluargamu.
3. Dilapankan kuburannya.
4. Dimudahkan ketika dibangkitkan.
5. Dan sebagai tujuan akhir, dia mendapatkan apa yang dia cita-citakan, yaitu bertemu dengan Tuhannya di Surga.

Sebagai suatu kesimpulan, bahwa istiqamah adalah berpegang teguh kepada agama Allah, dengan tidak berlebih-lebihan, walaupun sedikit tapi konsisten itu lebih baik dari pada banyak tapi hanya sekali, sekali lagi agama kita tidak melihat kepada kuantitas suatu amalan tapi meliahat kualitasnya. Wallahu A’lam…

Jumat, 31 Oktober 2008

Urgensi mempelajari sejarah

Urgennya mempelajari sejarah

Belum usai perang dunia kedua, disusul dengan agresi militer Amerika membombardir Irak sampai keakar-akarnya, yang alih-alih mengatasnamakan justice. Bukan hanya itu akhir-akhir ini juga, terjadi perang intelektualisme antara Barat vs Timur, Timur yang mewakili sekte Islam, sedang Barat mewakili Liberalisme, Matrealisme dan semacamnya, Islam yang diwakili oleh cendekiawan muslim, dan Barat oleh orentalis dan para pemuja hak asasi manusia, dan penulis merasa bahwa perang intelektualisme itu lebih berbahaya dari perang fisik, karna dampaknya nanti akan lari kepada keyakinan, sedangkan keyakinan dalam agama umumnya, Islam khususnya adalah sesuatu yang sangat mendasar.

Salah satu yang menjadi titik sentral oleh para orentalis adalah sejarah, mereka mengawali agresi intelektualisnya dengan pengkaburan sejarah Islam, untuk mencoba menggoyakan akidah umat Islam yang sejak lama terpatri di sanubari. Bagi mereka yang tidak kuat analisa atau pengetahuan sejarahnya mungkin saja akan terpengaruh begitu saja dengan pernyataan-pernyataan orentalis yang mana kebanyakan dalil-dalilnya pendekatan akal, sehingga sangat muda untuk di iyakan. Dan inilah yang penulis lihat di masyarakat kita Indonesia, sehingga lahirlah sekte-sekte baru yang tidak dikenal sebelumnya tapi mengetas namakan Islam, dengan ajaran yang agak sedikit melenceng dari ajaran islam yang hanif.

Yang marak sekarang ini adalah isu penegakkan khalifa Islamiah, yang pernah eksis dan menguasai peradaban, yang terkhir tumbang di tangan penguasa Turki Mustafa Kemal Ataturk atas sokongan inggris. Para musuh-musuh islam, khususnya orentalis tidak akan membiarkan islam Berjaya untuk kali kedua. Dengan usaha mati-matian dari orentalis dia mencoba mendistorsi hal ini. Pertama, dia menyerang Rasulullah dan membuat seribu satu macam syubhat hanya untuk menjauhkan Rasulullah dari hati umat islam yang sudah 1400 tahun lamanya.

Selanjutnya sahabat-sahabat beliau yang telah dijamin masuk surga, dan disinilah mereka banyak berhenti dan mulai mengkaburkan makna kekhalifaan islam. Memang diakui oleh para sejarawan Islam, bahwa memang disisni terjadi problem dalam tubuh umat Islam, yang belum siap untuk ditinggalkan oleh Nabi, Sang pemimpin umat yang sangat mereka cintai lebih dari diri mereka sendiri, sehingga untuk mencari pengganti sebagian sahabat belum siap dan masi berduka, belum lagi tentang pengangkatan khalifa Abu Bakar ra. yang sebagian kecil sahabat tidak ikut bait beliau. Kemudian terbunuhnya Umar bin Khatab ra., Usman ra. meminta tuntutan atas meninggalnya Umar bin Khatab ra., perpecahan Ali dan Muawiyah dan terjadinya perang siffin, yang menjadi tema yang sangat menerik bagi orentalis untuk dijadikan bahan pengkaburan.

Selasa, 28 Oktober 2008

menyikapi sebuah perbedaan

Menyikapi Sebuah Perbedaan

Apabila kita perhatikan kehidupan umat islam dewasa ini, mengalami sebuah kemunduran dalam berbagai lini kehidupan, baik itu dalam penerapan syariat islam, atau dalam segi keagamaannya yang kurang mengakar dalam jiwa-jiwa pemeluknya, akibatnya, semangat keberagamaan, kepekaan sosial antara sesama islam susah kita temukan, padahal jauh sebelumnya Alquran maupun Hadis Nabi Saw., telah mewanti-wantikan hal ini : ”Innamal mu’minuna ikhwatun faaslihu bayna akhwaekum”, dan dalam Hadis Nabi Saw “almu’mini kalbunyani yasyuddu ba’duhum ba’da” bahwasannya orang mu’min itu seperti bangunan yang satu sama lainnya saling menopang.

Atas dasar inilah islam mengalami kemunduran, karena dalam diri islam tidak ada lagi persaudaraan yang menyatukan mereka, padahal apabila kita tengok sejarah, yang membawa islam sampai kepuncak kejayaan adalah Ukhuwah, rasa saling percaya antara umat islam yang masih sangat mengakar sehingga perbedaan bukan menjadi suatu kekhawatiran, seperti yang pernah terjadi pada Muhajirin dan Ansar, yang hakikatnya mereka adalah dua golongan etnis yang berbeda, tapi perbedaan itu dapat ditepis dengan adanya Ukhuwah, hingga diantara mereka ada yang rela berbagi, milik saya adalah milik kamu juga, namun hal ini tidak dibolehkan oleh islam, karena dalam islam kita kenal ada sistem warisan.

Salah satu yang menarik disoroti disini, adalah perbedaan yang membawa kepada perpecahaan. Islam sendiri tidak menafikan adanya perbedaan, bahkan perbedaan ini sudah menjadi suatu simbol. Allah Swt berfirman.

ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين . إلا من رحم ربك ولذالك خلقهم وتمت كلمة ربك لأملأن جهنم من الجنة والناس اجمعين .

“ Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap,” Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan Jin dan Manusia (yang durhaka) semuannya”. ( QS. Hud 118-119) Dalam menafsirkan ayat ini ( ولذلك خلقهم ) terdapat banyak interpretasi di kalangan ulama :

Pertama : Diriwayatkan dari Al hasan, yang di maksud dengan (ولذلك خلقهم), adalah atas perbedaan itulah mereka diciptakan.

Kedua : Yang dimaksud dalam ayat tersebut, ialah mereka diciptakan untuk saling mengasihi. Diriwayatkan dari Tawus, terdapat dua orang yang berselisih dan paling sering berselisih, Tawus berkata pada orang tersebut :”kalian berdua berselisih dan kalian lah yang paling sering berselisih”, salah satu diantaranya menjawab :”karena atas dasar itulah Allah menciptakan kita”. Maka Tawus berkata :”kamu telah berbohong, tidaklah Allah Swt. berkata: ( ولا يزالون مختلفين . إلا من رحم ربك ولذالك خلقهم ) lalu berkata: “kalian tidak diciptakan untuk saling berselisih tapi diciptakan untuk saling mengasihi”.

Ketiga : Maksud dari ayat ini, atas dasar kasih sayang dan perbedaan mereka diciptakan. Al Hasan berkata: ”Manusia berbeda-beda dalam agama kecuali yang diridhoi Allah, maka barang barang siapa yang diridhoi tidak akan berpecah.

Dalil ini menunjukan bahwa perbedaan diantara manusia itu betul terjadi tapi apakah kita akan pasrah begitu saja dengan adanya perbedaan ini ataukah perbedaan ini sudah menjadi takdir yang tidak bisa diganggu gugat ? ya betul, ini sudah menjadi ketentuaan Allah tapi bukan berarti kita tidak bisa lari dari takdir tersebut, kita bisa menghindari takdir Allah yang jelek untuk mendapatkan takdir Allah yang baik. Sebagaimana yang pernah dipraktekkan Sayyidina Umar ra.

Ulama islam membagi perbedaan ini dalam dua bagian :

1. Perbedaan Tanawwu ( Komplementer )

2. Perbedaan Tadaad ( Kontradiktif )

Yang pertama : Perbedaan Tanawwu

Yaitu, dua hal yang kelihatannya berbeda tapi tidak kontaradiktif semuanya bisa untuk dipakai, dan ini kebanyakan kita temui dalam teks-teks Alquran maupun Sunnah, contohnya: Perbedaan bacaan Alquran, orang yang membaca Alfatiha dengan (مالك يوم الدين) dengan memanjangkan mim, dan mereka yang memendekkan (ملك يوم الدين) , keduanya mengetahui bahwa bacaan yang pertama benar dan bacaan yang kedua juga benar.

Contoh lain : Apa yang terjadi pada sahabat ketika perang Bani Quraezah Rasulullah Saw. memerintahkan kepada para sahabat untuk untuk berangkat ke Bani Quraedzah dan mengatakan : “لايصلين أحد العصر إلا فى بنى قريظة terjadi kontradiksi dikalangan para sahabat dalam menangkap dan memahami pesan Rasul ini, kelompok yang pertama, tidak mengindahkan pesan Rasulullah, ketika diperjalanan waktu Asar tiba, mereka langsung menghentikan perjalanan dan menunaikan shalat Asar, khawatir waktu Asar akan habis sebelum sampai ketujuan, sedang kelompok yang kedua tetap konsekwen pada pesan Rasul dan memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan dan akhirnya mereka melakukan shalat Asar setelah matahari terbenam. Perkara ini ketika dihadapkan kebaginda Rasul, Rasulullah Saw. tidak menyalahkan satu diantara dua kelompok ataupun membenarkan, tapi disini adalah sunnah taqririyah ( ketetapan ) dari Rasul yang menunjukan kedua kelompok ini benar dengan hujjah-hujjah yang mereka argumentasikan, kelompok pertama takut kehilangan shalat sedang kelompok kedua takut menentang perintah Rasul, seandainya diantara mereka ada yang salah tentulah Rasul akan menegurnya atau memberitahukan letak kesalahannya.

Pebedaan semacam ini dalam islam dapat ditolerir dan bahkan menjadi suatu kelebihan tersendiri, sehingga kita tidak hanya berkaca atau berkiblat pada satu pendapat saja yang akan membuat kita jumud dan terkungkung tapi disana ada pendapat lain yang juga benar, dan ini sangat sejalan dengan ajaran agama kita, Yusuf Qardawi mengatakan; “ apabila ada dua hal yang bertentangan maka pilihlah yang paling mudah” dengan adanya banyak pendapat yang masing-masing memiliki sandaran dan dalil yang kuat memungkinkan kita untuk berikhtiar dan memilih pendapat tentunya bukan karna landasan hawa nafsu semata tapi sesuai dengan kondisi kita pada saat itu. Mengamalkan salah satu pendapat dari pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai keabsahan ibadah kita. Ulama melihat ini hanyalah pebedaan pariatif.

Yang kedua : Perbedaan Tadadd (Kontradiktif)

Dua pendapat yang saling bertentangan yang satu mengatakan boleh yang lain mengatakan tidak. Ulama dalam hal ini membagi dua :

1. Perbedaan Tadadd yang dibolehkan

Yaitu perbedaan yang menyangkut maslah-masalah furuiyah yang tidak menyalahi AlQuran maupun Hadist serta Qiyas dan Ijma. Kebanyakan masalah-masalah furuiyah semacam ini tidak bersandarkan pada dalil yang qat’i sehingga Ulama membolehkan dalam hal ini.

Contohnya : perbedaan Ulama dalam menentukan awal bulan, kebanyakan perbedaan dalam menentukan hilal awal jatuhnya puasa Ramadhan ada yang menetapkan awal puasa dengan melalui rukyah dan ada yang mengunakan hisab, kita tidak boleh menyalahkan satu diantaranya, karna masing-masing memiliki dalil yang rajih.

2. Perbedaan Tadadd yang tidak dibolehkan

Atau disebut juga khilaf madzmum (yang tercela), yaitu perbedaan pendapat yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama kita biasa disebut (tsawabit atau ma'lum minad diin bid dharurah)

Contohnya : Teori Hulul dan Ittihad yang mengatakan zat Tuhan dan makhluknya itu satu, dan banyak lagi pendapat-pendapat yang semacam ini, yang mengatas namakan islam untuk mendapat justifikasi padahal aslinya sangat jauh dari ajaran islam yang hanif.

Secara garis besar perbedaan dalam islam muncul disebabkan:

1. Perbedaan bacaan teks Alqur’an (qiro’at). Sebenarnya ini bukanlah suatau perbedaan yang kontra, karna alquran terdiri dari tujuh bahasa, mengutip perkataan DR. Ali Syarif “ alquran turun dengan tujuh bahasa, tapi, sebuah rukhsah untuk umat Muhammad, yang sebenarnya Alquran itu turun dengan bahasa Quraesy”. Tapi menjadi kontardiktif ketika hal itu tidak dipahami sebagai rukhsah lagi atau mereka yang tidak mendalam dalam ilmu Qur’annya akan memahami hal ini adalah paten, sehingga akan patal akibatnya dan dapat merubah hukum, contohnya membasuh kaki ketika berwudhu, para ulama berbeda pendapat, apakah yang diperintahkan ketika berwudhu mencucu kaki atau membasuh kaki.

2. Perbedaan dalam pemahaman nash dan penafsirannya. Tidak jarang pandangan ulama terhadap arti sebuah nash baik dari Alqur’an maupun Hadits saling berbeda. Hal ini merupakan perkara yang wajar, karena kejeniusan ulama tidaklah sama. Faktor kefasihan dan pemahaman terhadap bahasa juga sangat mempengaruhi berbedanya pendapat diantara ulama. Hal ini dapat kita lihat pada perbedaan hukum zakat harta dari dua pemilik yang sudah mencapai batas nishob.

3. Satu kata mempunyai lebih dari satu makna (isytirok al lafzh). Telah terbukti bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang mempunyai kosakata paling banyak dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya. Meskipun demikian ada juga dalam bahasa Arab satu kata yang mengandung beberapa arti. Hal ini tidak sedikit kita temui dalam Alqur’an, sehingga menimbulkan perbedaan diantara ulama-ulama salaf. Sebagai contoh masalah masa iddah wanita yang dicerai suaminya apabila masih berhaid.

4. Kontradiksi antar dalil. Sebenarnya mustahil terjadi kontradiksi antar dalil, karena semua berasal dari satu sumber yaitu Allah Swt., baik di Alqur’an maupun di Hadits. Tetapi yang dimaksud dengan kontradiksi di sini adalah dalam segi dhahirnya saja. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam perbedaan pendapat. Misalnya perbedaan batas sedikitnya yang boleh dijadikan mahar dalam nikah.

5. Tidak adanya nash dalam suatu masalah. Hal ini merupakan salah satu dari penyebab utama berbedanya pendapat para ulama. Rasul telah wafat, sedangkan masih ada sedikit masalah yang hukumnya belum terbahas oleh Alqur’an maupun Hadits. Kadang di antara masalah yang muncul ada yang hampir sama dengan yang muncul diwaktu Nabi masih hidup, tetapi tidak jarang pula muncul masalah baru yang belum pernah ada sebelumnya bahkan belum pernah ada yang hampir sama hukumnya. Seperti warisan untuk kakek kalau ada saudara laki-laki.

Setelah kita melihat bahwa perbedaan disatu sisi sibolehkan dan disisi lain diharamkan, maka disinilah peran kita sebagai muslim peka dan jeli melihat perbedaan ini kita harus mampu untuk memperlihatkan kedewasaan, toleransi dan objektivitas yang tinggi. Jangan sampai kita jatuh dalam kubangan yang sepeleh, sibuk menyelisihkan hal-hal yang kecil sehingga kita lupa ada yang lebih prioritas dan lebih besar yang harus kita selesaikan.

Marilah kita kita memandang hal semacam ini seperti ulama-ulama salaf melihatnya “pendapat saya benar tapi mengandung kesalahan dan pendapat yang lain salah tapi mengandung kebenaran” inilah kalimat yang sering diungkapkan Imam Syafii dalam banyak kitabnya. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Alqur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti. Wallahu a’lam.